UkiranRelief wayang wisanggeni berikut ada dua gambar dengan gaya yang berbeda. Wayang wisanggeni yang No 1 berukuran 125cm x 180cm x tebal 8m dan yang kedua berukuran 50cm x 100cm x tebal 5cm. Relief batu alam tokoh pewayangan Wisanggeni yang biasanya dibuat dari kulit, untuk yang satu ini gambar wayang dibuat diatas lempengan batu alam paras putih. Pembuatanya antara wayang kulit dan relief
Banyak para ahli yang berpendapat bahwa kata ornamen terbit berasal bahasa latin “ ornare “ yang berjasa menyair. N domestik ensiklopedia Indonesia ornamen dijelaskan sebagai setiap hiasan beraksi geometrik atau nan lainnya; ornamen dibuat pada suatu bentuk dasar mulai sejak hasil kerajinan tangan perabot,pakaian dsb dan arsitektur. Ornament ialah rancangan tambahan yang sengaja dibuat untuk tujuan andai hiasan. Berpunca pengertian diatas boleh dibuat inferensi bahwa ornament adalah rancangan perwujudan visual yang dibuat dengan tujuan menyair satu parasan ataupun benda tertentu bagi memperindah dan atau membagi nilai tambah. Ornament tidak semata misal riasan ruang nol dan tanpa kemujaraban, apalagi motif ornamen masa lalu. Bermacam bentuk ornament sesungguhnya punya sejumlah khasiat. Disamping sebagai bentuk hiasan, ragam motif ornamen tertentu mempunyai makna simbolik maupun merupakan pencitraan falsafah hidup untuk individu-manusia yang meyakininya, sehingga benda-benda nan ditempatinya mempunyai makna yang mendalam disertai harapan-harapan tertentu bikin orang nan mempercayainya. Bermacam bentuk ornament sesungguhnya punya sejumlah kelebihan, yaitu 1 guna ceria estetis, fungsi murni estetis merupakan keistimewaan ornament kerjakan memperindah performa tulang beragangan produk karya seni, misalnya produk meubel, ubin, tenun anyaman, peralatan rumah tangga, dagangan-produk kerajinan tambahan pula puas karya-karya arsitektur. 2 kelebihan figuratif dimaksudkan sebagai pencitraan tanda-tanda, harapan-harapan ataupun cita-cita. Ornament nan berfungsi simbolis biasanya terletak pada benda-benda pusaka, benda-benda upacara atau benda-benda yang di sakralkan yang karuan saja kredit estetisnya tidak serupa itu saja diabaikan. Ornament simbolis banyak terwalak pada produk-produk seni masa lalu, biasanya yang digunakan adalah motif kala, biawak, naga, burung maupun rasi puas gerbang candi merupakan gambaran muka ki akbar atau banaspati perumpamaan symbol penolak tentara. Beriang sebagai motif ornament diwaksudkan sebagai penjelmaan hidup nenek moyang, naga maupun ular air seumpama simbol mayapada sumber akar dan zakar dipandang laksana simbol dunia atas Sunaryo, 2009 5 . Sebagai contoh kemujaraban simbolik terwalak pada ornament di sebuah mihrob masjid mantingan yang digunakan sebagai condro sengkolo atautiti incarantanda waktu hari dibangunnya bandarsah mantingan,3 khasiat estetik konstruktif, privat keadaan ini ornament menjadi bagian lakukan memperindah struktur konstruksi produk ataupun benda fungsi estetik konstruktif ornamen tercalit erat dengan produk nan dihiasinya, contohnya motif kuda lega karya ukir bonggol kayu jati, ataupun motif kepiting pada karya kursi. Ornamen atau ragam hias merupakan hasil karya seni yang terinspirasi berusul suatu obyek tertentu kemudian digubah bentuknya sedemikian rupa dengan prinsip tertentu, seperti dengan cara stil a sang , deformasi, distorsi, pukul ratamaupun natural realis. Stilasi adalah mandu menggambar suatu obyek dengan menggubah -mengayakan- kerangka asli obyek menjadi rang baru namun lain lepas dari khuluk buram aslinya, deformasi menggubah obyek gambar dengan kaidah mengeset ulang bentuknya sehingga menjadi bentuk nan berbeda namun tanpa menghilangkan ciri atau karakter obyek. Distorsiialah menggubah obyek rajah dengan cara melebih-lebihkan bentuk tertentu atau beberapa bagian tertentu pada obyek adalah upaya memudarkan gagasan utama bentuk tertentu sehingga enggak dikenali pula bentuk asalnya, sedangkan pengertian naturaldimaksudkan merupakan ornament nan berbentuk realis sebagai halnya bentuk obyek aslinya. Gb 2. Sempurna gambar ornament dengan susuk stilasi Gb 3. Pola gambar ornament dengan bentuk Deformasi Gb 4. Contoh kerangka ornament dengan rang Distorsi Gb 5. Model rangka ornament dengan bentuk Abstraksi motif batik parang sendok nasi Gb 6. Hipotetis gambar ornament dengan buram Natural sumber sejarah seni rupa 1 Motif merupakan bentuk penting ataupun unsur pokok ornamen atau ulah hias. Melalui motif, tema ataupun ide dasar ornament dapat dikenali, apakah tentang tunggul, insan, sato, flora, atau bentuk imajinasi tertentu. Menurut Sunaryo 2011 16, varietas-variasi ornament nusantara berlandaskan motif hiasnya boleh dikelompokkan menjadi 1 Motif geometris 2 motif individu 3 motif binatang 4 motif tumbuh-tumbuhan 5 motif benda-benda umbul-umbul 6 motif benda tehnologis dan kaligrafi. Motif geometris adalah bentuk motif nan menggunakan tulang beragangan garis atau rataan yang puas rata-rata bertabiat ilmu ukur maksudnya tulang beragangan-gambar yang ada berbentuk garis, bidang segi catur, segi tiga, jajaran genjang belah ketupat dan geometris ada nan disebut motif meander, pilin, banji, swastika, kawung alias tumpal. Motif meander kebanyakan digunakan bagaikan hiasan tepi suatu produk kerajinan, motif ini n kepunyaan variasi tulang beragangan nan beragam. Apabila di perhatikan bentuknya motif meander terserah yang berbentuk seperti huruf “Falak”atau huruf “ J “ yang berbanjar saling berkebalikan tersapu, dengan variasi garis lurus maupun nan lengkung berkelok-kelok. Di bali motif meander dengan berbagai variasinya disebut kuta mesir. Gb 8. A. motif meander konfigurasi huruf T Motif Meander pada retakan gerabah zaman pra rekaman Motifpilin berbentuk garis lengkung sepiral, di Jepara bentuk ini dikenal dengan stempelulir. Motif pilin dapat dibedakan menjadi jalin singularis nan berbentuk ikal, jalin ganda yang berbentuk seperti fonem “ S “ dan adapula jenis pilin ganda yang saling menyambung berganti arah. Motif pilin kebanyakan disusun secar iteratif dan berderet secara vertical, mendatar lebih lagi berbentuk diagonal seperti yang dikenal dengan motif spesies motif parang ini ada yang menyebutnya misal variasi motif lereng yaitu motif geometris nan memiliki bentuk atau sempurna dasar garis-garis miring nan sebabat. Motif banji hanya di kenal dijawa, meskipun alas kata banji selayaknya berbunga berusul kata china wan-ji sehingga lain keseleo apabila motif keberagaman ini dikatakaan sebagi motif nan asian pengaruh china. Motif ini memiliki kerangka bawah garis tekuk yang bersilang maupun palang banji di beberapa area jawa lebih dikenal sebagi motif swastika. Di toraja, ornamen dengan motif semacam ini disebut sekong sala palang berkait yang mengandung makna peringatan agar tidak mencampuri urusan makhluk lain, atau motif ukir passepu torongkong yang menyimbolkan lega hati Sunaryo,27 2011 . Motif kawung yakni jenis motif yangterbentuk bermula galangan yang berderet ke kiri, ke kanan, atas dan bawah yang silih bersilang. Rang radiks motif kawung ialah susunan lingkaran nan disusun sedemikian rupa mirip buah aren kawung ;sunda nan dibelah menjadi dua. Bentuk dasar motif kawung Motif tumpal merupakan jenis motif yang berbentuk dasar segi tiga sama jihat, rata-rata berpola tukar berarak atau berkait. Di Sumatra Barat motif tumpal disebut pucuak rebuang bucuk rebung, banyak digunakan bagi menghias kain tenun songket, di Tapanuli Selatan disebut motif hias bindu, di Batak Simalungun disebut ipon-ipon yang bermanfaat gigi, di Jawa adapula yang mengenal motif ini dengan sebutan untu belalang lihat sunaryo2011. a. keberagaman motif tumpal dengan isen-isen b. motif tumpal pada tenun torso Motifmanusia ialah jenis motif yang menggunakan wujud orang seluruhnya ataupun babak tertentu sebagai gagasan utama polah hias. Rancangan motif turunan boleh saja digubah dengan cara stilasi, distori, abstraksi maupun secara natural, baik perwujudan seluruh tubuh manusia atau fragmen raga tertentu. Motif binatang adalah jenis motif yang menunggangi wujud binatang seluruhnya atau fragmen tertentu umpama gagasan terdahulu ragam hias. Gambar motif fauna dapat saja digubah dengan cara stilasi, distori maupun secara natural, baik perwujudan seluruh jasmani binatang ataupun fragmen fisik tertentu. Motiftumbuhan merupakan diversifikasi motif nan menggunakan wujud tumbuhan alias fragmen tertentu tumbuhan seumpama gagasan utama kelakuan solek. Rajah motif tumbuhan bisa saja digubah dengan prinsip stilasi, distori, pukul rata maupun secara natural, baik perwujudan seluruh penggalan tumbuhan maupun putaran tertentu. Motif benda-benda kalimantang merupakan jenis motif nan menggunakan wujud rancangan benda-benda alam sebagai gagasan terdahulu ragam hias. Bentuk motif benda-benda kalimantang biasanya digubah dengan cara stilasi. Motif benda-benda teknologis dan motif kaligrafi , merupakan jenis motif nan menggunakan wujud rangka benda-benda tehnologis/benda-benda buatan manusiasedangkan yang dimaksud motif kaligrafi adalah upaya memanfaatkan lambang bunyi sebagai rencana gagasan utama ornament alias ulah solek. Bagan motif benda-benda teknologis bisa cuma digubah dengan cara stilasi, distori, abstraksi maupun secara motif kaligrafi biasanya menggunakan catatan/abc yang dibentuk sedemikian rupa membuat obyek geometris, bani adam, satwa, pohon atau obyek tertentu. _______________ Penulis A. Ibadur Rohman, Guru Seni dan Budaya di MAN 1 Jepara
1 Karya Seni Kriya Tradisi. Seni kriya adalah cabang seni rupa yang proses pembuatannya sangat memerlukan keahlian yang tinggi (craftsmanship), sehingga seniman hampir tidak dapat menyisihkan perhatiannya untuk berekspresi. Seni kriya termasuk seni rupa terapan (applied art/useful art) yang lebih mengedepankan aspek nilai guna dan keindahan
- Simbol perhelatan G20 yang akan diikuti oleh 19 negara utama dan Uni Eropa EU menggunakan siluet gunungan sebagai lambang “Recover” atau babak baru dan keseimbangan. Melansir laman resmi logo Indonesia untuk keketuaan G20 yang kental dengan budaya ini menggunakan siluet gunungan sebagai salah satu cara menyampaikan narasi yang perlu disampaikan ke juga Sunan Kalijaga, dari Brandalan hingga Berdakwah lewat Wayang "Gunungan merefleksikan bagaimana kita memahami gunungan di wayang, yaitu perpindahan babak. Babak yang dimaksud di sini adalah babak menuju pemulihan ekonomi dunia yang lebih inklusif dan berkelanjutan," jelas Hari Prabowo, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup serta G20 Kementerian Luar Negeri dalam Forum Tematik Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat Bakohumas - Menuju Presidensi G20 Indonesia "Recover Together, Recover Stronger" di Jakarta, Selasa 23/11/2021. Baca juga Asal-usul, Ragam Jenis, dan Fungsi Wayang Kulit Ini bukan sekali gunungan wayang digunakan sebagai sebuah simbol, sebelumnya gunungan juga digunakan dalam uang logam Rp100 emisi tahun 1978. Sejarah Gunungan dalam Wayang Kulit Melansir laman Gunungan merupakan perangkat dalam kesenian wayang kulit yang berwujud menyerupai gunung. Baca juga Mengenal Wayang Golek, dari Sejarah hingga Dalang Asep Sunandar Sunarya Gunungan dikenal juga dengan istilah kayon yang berasal dari mata kayu karena menggambarkan pohon hayat pohon kehidupan beserta hewan penghuni hutan. Wayang gunungan untuk pertama kali diciptakan pada tahun 1443 Caka, yaitu tahun dengan sengkalan berbunyi Geni Dadi Sucining Jagad. Pagelaran wayang kulit di masa lalu mulanya hanya menggunakan satu gunungan saja, dan masih dilestarikan di Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat hingga kini. Sebelum pagelaran wayang dimulai, gunungan akan tertancap tegak lurus di debog atas. Hal serupa dilakukan dalang setelah pergelaran wayang berakhir di mana gunungan akan ditancapkan lagi tegak lurus di debog atas tepat di tengah kelir. Hal ini kemudian dikenal dengan istilah tancep kayon yang menandai berakhirnya pertunjukan wayang tersebut. Dua Jenis Gunungan dan Fungsinya Gunungan dibedakan menjadi dua jenis berdasar ornamennya, yaitu kayon blumbangan dan kayon blumbangan adalah gunungan yang memiliki ornamen blumbang atau kolam lengkap dengan air dan ikan serta beberapa wujud hewan lainnya. Kayon gapuran adalah gunungan dengan ornamen gapura yang dijaga oleh dua sosok raksasa di kanan dan kiri gapura. Ornamen gunungan umumnya disungging atau digambar dengan dua sisi berbeda. Salah satu sisi akan disungging mengikuti tatahannya, sementara sisi lain akan diberi gambar sosok banaspati. Gunungan sendiri memiliki beberapa fungsi antara lain untuk tanda mulai dan selesainya pagelaran, pembuka dan penutup adegan, menggambarkan hal yang tidak ada bentuk wayangnya, dan lain sebagainya. Filosofi Bentuk dan Ornamen Gunungan Melansir laman filosofi gunungan ada pada bentuk dan ornamennya. Bentuk kerucut lancip ke atas pada gunungan melambangkan kehidupan manusia yang makin tua harus semakin dekat kepada pencipta. Ornamen gapura dan dua penjaga Cingkoro Bolo dan Bolo Upoto melambangkan baik-buruknya hati manusia. Sementara tameng dan godho yang dipegang oleh kedua sosok penjaga tersebut melambangkan penjaga alam dan terang. Ornamen pohon yang tumbuh menjalar dari bawah hingga puncak gunungan melambangkan sifat manusia yang tumbuh dan bergerak maju dinamis sehingga bermanfaat bagi alam semesta. Pohon juga melambangkan adanya perlindungan dari Tuhan kepada manusia. Rumah joglo gapuran melambangkan sebuah negara yang didalamnya memiliki kehidupan aman, tentram, dan bahagia. Selain itu terdapat ornamen binatang seperti burung, banteng, kera dan harimau yang juga memiliki filosofi tersendiri. Burung yang melambangkan keindahan, banteng yang melambangkan kekuatan dan keuletan, kera sebagai lambang memilih baik dan buruk dan harimau sebagai labang sosok pemimpin. Sumber Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Gambarornamen ukir, batik, wayang kulit termasuk dalam bentuk karya bersifat: a. Reprensentatif b. Dekoratif c. Abstrak d. Realisme. Question from @SyifaNPawestri - Sekolah Menengah Pertama - Seni
Seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari lima abad. Membawa kisah Ramayana dan Mahabharata, pagelaran selama semalam suntuk ini menjadi ruang yang tepat untuk melewatkan malam, berefleksi dan memahami filosofi hidup tgl 22 Desember 2021 / Jaya Tri HartonoMalam di Yogyakarta akan terasa hidup jika anda melewatkannya dengan melihat wayang kulit. Irama gamelan yang rancak berpadu dengan suara merdu para sinden takkan membiarkan anda jatuh dalam kantuk. Cerita yang dibawakan sang dalang akan membawa anda larut seolah ikut masuk menjadi salah satu tokoh dalam kisah yang dibawakan. Anda pun dengan segera akan menyadari betapa agungnya budaya Jawa di masa kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging ukir kulit. Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta. Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah pagelaran wayang semalam suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran adegan dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas WAYANG KULITKraton, Jl. Rotowijayan 1 YogyakartaWaktu Setiap hari Sabtu, pukul - WIBTiket gratis, kita hanya perlu membayar tiket untuk masuk ke Kraton Rp untuk wisatawan lokal, Rp untuk wisatawan mancanegaraMuseum Sonobudoyo, Jl. Trikora 6 YogyakartaWaktu Setiap hari Sabtu, pukul - WIBTiket Rp YUNANTO WIJI UTOMO Photography JAYA TRI HARTONOCopyright © 2006 Foto Pertunjukan Wayang Kulit
Ragamhias merupakan hasil budaya sejak masa prasejarah dan berlanjut sampai masa kini. Ragam memiliki pengertian secara umum yaitu keinginan manusia untuk menghias benda-benda sekelilingnya. Kekayaan bentuk yang menjadi ornamen dari masa lampau yang berkembang di istana raja-raja dan para bangsawan, baik yang ada di bangsa Barat maupun bangsa
ArticlePDF AvailableAbstractGedung Wayang Orang adalah gedung pertunjukan yang berada dalam kawasan publik Taman Sriwedari di kota Surakarta. Dalam perencanaan kawasan Taman Sriwedari, Gedung Wayang Orang menjadi salah satu bangunan yang perlu dibangun kembali untuk melestarikan budaya yang ada dengan menciptakan bangunan yang merujuk pada kekayaan arsitektur Surakarta dengan sentuhan yang lebih modern sehingga pendekatan arsitektur neo vernakular menjadi pilihan yang tepat. Permasalahan penelitian yaitu untuk menerapkan desain yang modern dengan tetap merujuk pada arsitektur tradisional diperlukan penerapan ornamen lokal yang tepat pada bangunan. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi karakteristik ornamen lokal yang sesuai dengan tipologi bangunan gedung pertunjukan di Kota Surakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang dilakukan dengan studi literatur dan studi preseden dengan tiga komponen penelitian yaitu karakteristik, bentuk dan makna ornamen. Hasil penelitian menunjukan bahwa ornamen yang diterapkan pada bangunan preseden tidak memiliki karakteristik, bentuk dan juga makna yang khusus. Bentuk ornamen seperti ornamen lunglungan, wajikan, patran, padma dapat digunakan pada bangunan pertunjukan Gedung Wayang Orang Sriwedari. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. AGORA Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Arsitektur Usakti Vol. 20 No. 2 Desember 2022 123-133 DOI ISSN 1411-9722 Print ISSN 2622-500X Online 123 PENERAPAN ORNAMEN LOKAL PADA DESAIN GEDUNG WAYANG ORANG SRIWEDARI SURAKARTA DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR NEO VERNAKULAR APPLICATION OF LOCAL ORNAMENTS IN THE DESIGN OF WAYANG ORANG SRIWEDARI BUILDING IN SURAKARTA WITH THE NEO VERNACULAR ARCHITECTURAL APPROACH Afi Khalisha Hakim*1, Mohammad Ischak*2, Nurhikmah Budi Hartanti*3 1,2,3Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Trisakti, Jakarta *e-mail ABSTRAK Gedung Wayang Orang adalah gedung pertunjukan yang berada dalam kawasan publik Taman Sriwedari di kota Surakarta. Dalam perencanaan kawasan Taman Sriwedari, Gedung Wayang Orang menjadi salah satu bangunan yang perlu dibangun kembali untuk melestarikan budaya yang ada dengan menciptakan bangunan yang merujuk pada kekayaan arsitektur Surakarta dengan sentuhan yang lebih modern sehingga pendekatan arsitektur neo vernakular menjadi pilihan yang tepat. Permasalahan penelitian yaitu untuk menerapkan desain yang modern dengan tetap merujuk pada arsitektur tradisional diperlukan penerapan ornamen lokal yang tepat pada bangunan. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi karakteristik ornamen lokal yang sesuai dengan tipologi bangunan gedung pertunjukan di Kota Surakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang dilakukan dengan studi literatur dan studi preseden dengan tiga komponen penelitian yaitu karakteristik, bentuk dan makna ornamen. Hasil penelitian menunjukan bahwa ornamen yang diterapkan pada bangunan preseden tidak memiliki karakteristik, bentuk dan juga makna yang khusus. Bentuk ornamen seperti ornamen lunglungan, wajikan, patran, padma dapat digunakan pada bangunan pertunjukan Gedung Wayang Orang Sriwedari. Kata kunci Gedung Wayang Orang, Ornamen Lokal, Arsitektur Neo Vernakular ABSTRACT The Wayang Orang Building is a performance building located in the Sriwedari Park public area in the city of Surakarta. In planning the Sriwedari Park area, the Wayang Orang Building is one of the buildings that needs to be rebuilt to preserve the existing culture by creating a building that refers to the architectural richness of Surakarta with a more modern touch so that the neo vernacular architectural approach is the right choice. The research problem is to apply a modern design while still referring to traditional architecture, it is necessary to apply the right local ornaments to the building. The purpose of this research is to identify the characteristics of local ornaments that are in accordance with the typology of theater buildings in Surakarta City. The research method use a qualitative method with a literature study and a comparative study, presented with three research components, namely the characteristics, shape and meaning of ornaments. The results showed that the ornaments applied to the precedent buildings did not have special characteristics, shapes and meanings. Ornamental forms such as lunglungan, wajikan, patran, padma can be used in The Wayang Orang Sriwedari building. Keywords Wayang Orang Building, Local Ornaments, Neo Vernacular Architecture Agora Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Arsitektur Usakti , Volume20, Nomor 2, Desember 2022 124 A. PENDAHULUAN Taman Sriwedari merupakan ruang publik yang memilki nilai budaya dan nilai sejarah yang tinggi di kota Surakarta. Pada tahun 1930-an, Taman Sriwedari yang memiliki daya tarik yang membuat Sriwedari menjadi tempat yang populer karena salah satunya yaitu menampilkan pertunjukan wayang orang di Gedung Wayang Orang. Gedung Wayang Orang termasuk teater paling tua di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1910 dibawah Kesultanan Pakubuwono X. Pagelaran wayang orang di Gedung Wayang Orang diawali sejak masa kekuasaan Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara I, yang dibawakan oleh abdi dalem istana. Sejarah manusia dapat ditelusuri melalui peninggalan - peninggalan yang ditinggalkannya. Artefak arsitektural terdapat pada ornamen bangunan dan penggunaan ragam hias Budihardjo, 1987 3. Penggunaan ragam hias dalam sebuah bangunan termasuk salah satu kearifan lokal yang kemungkinan juga dipengaruhi oleh budaya negara lain. Keunikan budaya masyarakat dan mengalami perubahan budaya pada saat yang bersamaan yang disebut transformasi budaya Noor, 2005. Nilai estetika dapat dilihat pada bentuk, irama, keseimbangan dan keserasian bentuk ornamen. Nilai estetika juga terdapat pada pilihan warna yang digunakan pada setiap ornamen. Yunianti, 2018 Penerapan ornamen sebagai nilai local pada bangunan di Surakarta menunjukkan penerapan yang beragam. Elemen kaca dan dekorasinya pada bangunan tradisional di Surakarta memiliki bentuk, fungsi, dan makna yang spesifik, seperti yang diterapkan pada Pendapa Gede Balaikota Surakarta Sasana Handrawina Purnomo, 2009. Sementara itu, , ornamen yang terdapat pada bangunan yang berada di Kampung Laweyan tidak memiliki makna yang cukup mendalam Rahayuningtyas, 2010. Ragam hias pahatan tradisional Jawa yang ditemukan pada tebeng pintu dan juga gebyog merupakan letak dimana ornamen tersebut memiliki makna. Ornamen yang terlihat banyak digunakan yaitu memiliki motif tumbuh-tumbuhan dan motif lunglungan yang bergaya Surakarta. Dari kajian yang dilakukan, ditemukan bahwa dekorasi yang digunakan pada bangunan di Surakarta berbeda-beda tergantung pada jenis bangunannya. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk menemukan apakah terdapat ornamen tertentu dan ornamen seperti apa yang tepat bagi tipologi gedung pertunjukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis dan karakteristik ornamen lokal pada beberapa bangunan tradisional di kota Surakarta. Dari hasil kajian tersebut, diarahkan sebagai acuan dalam hal ornamen seperti apa yang tepat untuk tipologi bangunan gedung pertunjukan di Kota Surakarta. B. STUDI PUSTAKA Gedung Pertunjukan Gedung merupakan bangunan untuk kantor, tempat yang mewadahi hasil-hasil kesenian Poerwadarminta, 1976303. Pertunjukan adalah sebuah tontonan seperti wayang orang, bioskop, dsb, demonstrasi, pameran Poerwadarminta, 19761108. Gedung pertunjukan seni merupakan sebuah wadah yang dapat mewadahi segala bentuk pertunjukan musik seperti paduan suara, orkestra, jazz dan pop atau rock drama, opera, tari, dan musikal. Appleton, 2008 Ciri khas gedung teater yaitu terdapat pada bentuk kursi yang terletak di lantai bawah penonton duduk di sebidang tanah yang luas Afi Khalisha Hakim Penerapan Ornamen Lokal Pada Desain Gedung Wayang Orang Sriwedari Surakarta Dengan Pendekatan Arsitektur Neo Vernakular 123-133 125 berbentuk kurva ke atas dan panggung terlihat jelas di latar depan. Neufert, 2002 Ada tiga komponen utama yang membentuk khas bangunan teater. Variasi ukuran dan karakter tergantung pada jenis dan ukuran teater, tetapi karakteristik dasar dan hubungannya serupa. Komponen utamanya adalah • Auditorium dan stage Auditorium, jantung sebuah teater, adalah tempat pertunjukan yang merupakan kegiatan utama sebuah teater. • Front of house Front of house, yang mencakup semua fasilitas foyer, menyediakan kebutuhan penonton dan seringkali buka sepanjang hari. • Backstage Area belakang panggung teater harus mengakomodir kebutuhan para pemain rehearsal, make-up, prep, dan relaksasi maupun kebutuhan staf produksi dan teknis yang bertanggung jawab mengantarkan dan menyiapkan set, peralatan dan perlengkapan teknis. Ini adalah kegiatan yang sering perlu dijauhkan dari mata publik jika panggung ingin tetap misterius. Rute akses ke panggung dari pintu pengiriman, area teknis dan ruang ganti harus melewati area bangunan yang tidak ditempati oleh umum. Strong, 2010 Ornamen Ornamen seringkali mengandung makna atau maksud simbolis tertentu yang berkaitan dengan visi hidup yang disertai dengan harapan yang ada. Di balik representasi simbol, ada banyak pesan yang berdampak pada kehidupan budaya. Oleh karena itu, untuk memahami keberadaan nilai arsitektur, seseorang dapat memahami pesan budayanya, begitu juga sebaliknya Ronald, 2005. Menurut Soekiman, 2000, ornamen muncul dan terikat oleh faktor emosional dan faktor teknis. Unsur emosional adalah hasil ciptaan dari kepercayaan, agama dan magis. Sedangkan unsur teknis pada ornamen berkaitan dengan asal bahan dan cara pembuatannya. Ornamen merupakan bagian dari struktur esensial sistem puitis tampilan komposisi arsitektur yang dapat mengaburkan perbedaan dan dapat pula memperjelasnya. Pemahamannya tentang ornamen sebagai ekspresi jiwa dari komunitas pada karya arsitektur. Disamping itu ornamen juga merupakan ungkapan dunia komunal yang koheren berbentuk ekspresi dalam gaya historis cara hidup bersama selanjutnya memiliki fungsi etis sebagai tanda kehidupan. Harries, 2000 Ornamentasi pada bangunan merupakan bagian yang fundamental dalam arsitektur yang kehadirannya sebagai bentuk ragawi. Ornamen pada bangunan dapat meningkatkan nilai estetika pada bangunan serta menunjukkan identitas kota atau tempat. Prijotomo 1978 dalam Kertiyasa. J 2011. Bangunan tradisional Indonesia memiliki banyak ragam hias dan bentuk fisik bangunannya. Ornamen bangunan tradisional Indonesia erat kaitannya dengan makna filosofis yang dikandungnya. Di Indonesia, ornamen banyak diletakkan pada fasad exterior bangunan. Hal ini karena ornamen membantu untuk menunjukkan identitas daerah. Banyak ornamen juga diletakkan di luar gedung dan dapat dinikmati dalam aktivitas paling intensif yang biasanya dilakukan di luar gedung. Prijotomo 1978 dalam Kertiyasa. J 2011. Lokal Agora Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Arsitektur Usakti , Volume20, Nomor 2, Desember 2022 126 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lokal yaitu ruang yang luas; terjadi berlaku, ada, dan sebagainya di satu tempat, tidak merata; setempat; di suatu tempat tentang pembuatan, produksi, tumbuh, hidup, dan sebagainya; setempat. Melokalkan yaitu menjadikan membuat dan sebagainya sesuatu dipakai diterima dan sebagainya di suatu tempat. KBBI, 2021 Arsitektur Neo Vernakular Post modern adalah aliran arsitektur yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an, adanya post modern dikarenakan adanya sebuah gerakan yang dilakukan oleh beberapa arsitek salah satunya adalah Charles Jencks untuk mengkritisi arsitektur modern. Hal ini terjadi karena arsitek ingin menawarkan konsep baru yang lebih menarik daripada arsitektur modern yang monoton. Makassar et al., 2013 Tjok Pradnya Putra menyatakan Arsitektur Neo Vernakular berasal dari kata dari bahasa Yunani yaitu neo atau new yang berarti baru atau hal yang baru, sedangkan kata vernacular berasal dari bahasa latin vernaculus yang berarti asli. Dengan demikian, dapat diartikan arsitektur neo - vernakular sebagai arsitektur asli daerah yang dibangun oleh masyarakat setempat, dengan menggunakan material lokal, mempunyai unsur budaya dan disatu padukan dengan sentuhan modern yang mendukung. Purnomo, 2017 Arsitektur neo vernakular adalah penerapan elemen arsitektur yang ada, baik formal, struktural maupun tidak berwujud, sering diterapkan pada konsep, filosofi dan perencanaan penggunaan lahan dengan tujuan untuk melestarikan elemen lokal. Nauw & Rengkung, 2013. C. METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan mengidentifikasi karakteristik, bentuk dan juga makna yang terdapat pada ornamen lokal yang digunakan pada beberapa bangunan di kota Surakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu 1 studi literatur, melalui penelitian yang sudah ada terkait dengan karakteristik ornamen lokal yang digunakan pada bangunan di kota Surakarta, dan 2 studi preseden. Metode penelitian dilakukan dengan studi literatur yaitu mengumpulkan data melalui penelitian yang sudah ada terakit dengan ornamen lokal yang digunakan pada bangunan di kota Surakarta. Terdapat 5 bangunan di kota Surakarta yang digunakan dalam studi preseden yaitu Masjid Agung Surakarta, bangunan rumah tinggal Kampung Laweyan, Balaikota Surakarta, beberapa bangunan hotel di Surakarta, dan beberpaa bangunan tradisional di kota Surakarta. Terdapat 3 komponen analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu karakteristik, bentuk dan makna dari ornamen lokal. Setelah itu, hasil penelitian dapat menunjukan ornamen lokal seperti apa yang tepat bagi Gedung Wayang Orang Sriwedari. Langkah-langkah penelitian ditunjukan pada gambar 1. Hasil PenelitianOrnamen lokal yang tepat bagi Gedung Wayang Orang SriwedariAnalisis Komponen Ornamen LokalKarakteristik Bentuk MaknaBangunan di Kota SurakartaMasjid Agung SurakartaBangunan Rumah Tinggal Kampung LaweyanBangunan Tradisional SurakartaBalaikota Surakarta dll. Bangunan Hotel di Surakarta Jl. Slamet RiyadiStudi LiteraturMengumpulkan data melalui penelitian yang sudah ada terkait dengan ornamen lokal yang digunakan pada bangunan di kota Surakarta Afi Khalisha Hakim Penerapan Ornamen Lokal Pada Desain Gedung Wayang Orang Sriwedari Surakarta Dengan Pendekatan Arsitektur Neo Vernakular 123-133 127 Gambar 1 Skema Metode Penelitian Sumber Hasil Analisa Peneliti D. HASIL PENELITIAN Pada bagian ini menjelaskan hasil dari analisis dari komponen ornamen lokal yang ditemukan pada beberapa bangunan di kota Surakarta. Terdapat 3 komponen yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu karakteristik ornamen, jenis ornamen, dan makna dari ornamen. Masjid Agung Surakarta 1. Karakteristik Ornamen yang terdapat pada Masjid Agung Surakarta memiliki nilai estetika yang selaras dengan konsep estetis Jawa dan estetis Islam. 2. Bentuk Ornamen yang terdapat pada Masjid Agung Surakarta memiliki bentuk visual yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa, Islam berkaitan dengan Hindu-Budha. Berikut beberapa ornamen yang dimaksud a. Ornamen Padma, berupa ukiran tampak samping bunga teratai yang juga menyerpai huruf Arab yang terletak pada bagian batu hitam dasar tiang. Gambar 2 Ornamen Padma Pada Pondasi Umpak Sumber b. Ornamen Mirong atau Putri Mirong, berupa stilasi huruf arab pada bagian dalam berbentuk garisan yang menunjukan Sri Sultan bagaikan sedang mengenakan pakaian kesultanannya; c. Ornamen Sorotan, berupa stilasi huruf Arab yang memiliki bentuk serupa dengan pusaka trisula; Gambar 3 Ornamen Putri Mirong & Sorotan Sumber d. Ornamen Tlacapan, berupa sinar matahari, sorot, kecerahan, dan keagungan; Gambar 4 Ornamen Tlacapan Sumber Ismunandar, 2001 e. Ornamen Lunglungan. Gambar 5 Ornamen Lunglungan Sumber Ismunandar, 2001 3. Makna Ornamen pada Masjid Agung Surakarta mengandung nilai-nilai pendidikan antara lain berguna dan berharga nilai kebenaran, indah nilai estetika, baik nilai moral atau moral dan religius nilai agama. Yunianti, 2018 a. Ornamen Padma, bermakna sebagai ajaran suci Nabi Muhammad SAW. Agora Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Arsitektur Usakti , Volume20, Nomor 2, Desember 2022 128 b. Ornamen Putri Mirong, memiliki makna bahwa sultan memberikan contoh budaya malu berdasarkan ajaran Nabi Muhammad SAW. c. Ornamen Sorotan, memiliki arti bahwa Nabi Muhammad SAW adalah uswatun khasanah. d. Ornamen Tlacapan, memiliki makna seorang pemimpin harus memiliki wibawa dan keagungan. e. Lunglungan, memiliki makna kedermawanan. Ornamen yang terdapat pada Masjid Agung Surakarta memiliki nilai estetika dan juga bentuk visual yang selaras dengan kebudayaan Jawa Islam. Begitu juga dengan makna yang terkandung pada ornamen, berhubungan dengan nilai estetika dan juga nilai agama. Bangunan Rumah Tinggal Kampung Laweyan 1. Karakteristik Ornamen pada bangunan tempat tinggal di Kampung Laweyan memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh ragam hias itu sendiri. Karakter dipengaruhi oleh bentuk, pola, motif, posisi, dan warna. Rahayuningtyas, 2010 2. Bentuk Budaya Arab, Jawa, Cina, dan juga Eropa memiliki pengaruh terhadap ornamen yang digunakan pada bangunan di Kampung Laweyan. Ornamen Jawa paling banyak ditemukan pada ukirannya yang terletak pada gebyog dan juga tebeng pintu pada bangunan seperti lunglungan. Gambar 6 Gambar 7 Ornamen Lunglungan Pada Tebeng Pintu Sumber Rahayuningtyas, 2010 Motif jawa lainnya yang muncul pada ornamen antara lain a. Ornamen Wajikan Gambar 11 Ornamen Wajikan SumberNiswah et al., 2018 b. Ornamen Patran Gambar 10 Ornamen Patran Sumber Niswah et al., 2018 c. Ornamen Makhuta Gambar 9 Ornamen Makhuta Pada Jendela SumberRahayuningtyas, 2010 Afi Khalisha Hakim Penerapan Ornamen Lokal Pada Desain Gedung Wayang Orang Sriwedari Surakarta Dengan Pendekatan Arsitektur Neo Vernakular 123-133 129 d. Ornamen Banyu Tetes Gambar 8 Ornamen Banyu Tetes Sumber Ismunandar, 2001 3. Makna Ornamen yang terdapat pada bangunan yang berada di Kampung Laweyan tidak memiliki makna yang cukup mendalam. Ragam hias pahatan tradisional Jawa yang ditemukan pada tebeng pintu dan juga gebyog merupakan letak dimana ornamen tersebut memiliki makna. Ornamen yang terlihat banyak digunakan yaitu memiliki motif tumbuh-tumbuhan dan motif lunglungan yang bergaya Surakarta. Makna ini terkait dengan ragam hias tradisional Jawa. Di antara ornamen dengan pengaruh Eropa dan Arab, tidak ada dekorasi yang membawa makna khusus. Rahayuningtyas, 2010 a. Lunglungan, bermakna memberi ketentraman pada hunian. b. Wajikan, bermakna keindahan. c. Makhuta, bermakna sebagai mahkota atau wayang tokoh raja. d. Banyu Tetes, bermakna penghormatan terhadap air sebagai sumber kehidupan. Ornamen pada bangunan rumah tinggal Kampung Laweyan memiliki pengaruh dari budaya Arab, Jawa, Cina dan juga Eropa. Makna yang terkandung pada pada ornamen yang terdapat pada bangunan juga tidak memiliki makna khusus selain sebagai nilai estetika. Bentuk ornamen yang banyak ditemukan seperti ornamen lunglungan yang terletak pada gebyog dan juga tebeng pintu. Pendapi Gede Balaikota Surakarta dan Sasana Handrawina Surakarta 1. Karakteristik Pada bangunan Pendapi Gede Balaikota Surakarta dan Sasana Handrawina, keduanya menerapkan elemen kaca pada gebyog sebagai pembentuk ruang. Elemen kaca yang diterapkan pada kedua bangunan dapat membantu pencahayaan ruang pada siang hari dan juga tidak memutus hubungan antara bagian dalam bangunan dan area luar bangunan. Purnomo, 2009 2. Bentuk Ornamen pada Pendapi Gede Balaikota Surakarta menerapkan lambang Pemkot Surakarta pada gebyog. Gambar 12 Gebyog pada Pendapi Gede Balaikota Sumber Purnomo, 2009 Gambar 13 Lambang Pemerintah Kota Surakarta Sumber Purnomo, 2009 Sedangkan pada Sasana Handrawina berupa lambang yang disebut dengan nama Radya Laksana. Agora Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Arsitektur Usakti , Volume20, Nomor 2, Desember 2022 130 Gambar 14 Gebyog pada Sasana Handrawina Sumber Purnomo, 2009 Gambar 15 Lambang Radya Laksana Sumber Purnomo, 2009 3. Makna Ornamen dalam bentuk lambang kota Surakarta pada Pendapi Gede Balaikota Surakarta maupun Radya Laksana pada Sasana Handrawina berkaitan dengan aspek estetika atau keindahan dan juga sebagai suatu identitas daripada bangunan tersebut. Ornamen yang terdapat pada bangunan Pendapi Gede Balaikota dan Sasana Handrawina Surakarta memiliki karakteristik yaitu penggunaan ornamen kaca. Bentuk ornamen yang terlihat pada kedua bangunan yaitu lambang Pemkot Surakarta dan juga lambang Radya Laksana yang memiliki makna sebagai suatu identitas daripada kedua bangunan. Balaikota Surakarta, Pendhapa Keraton Mangkunegaraan, Pagelaran Keraton Kasunanan Surakarta, Dalem Joyokusuman, dan Masjid Agung Surakarta. 1. Karakteristik Tata bentuk dan ornamen yang dinamis terlihat jelas pada bangunan sebelumnya. Segitiga dan trapesium berulang menjadi bentuk atap yang ditemukan di hampir setiap bangunan. Ornamen yang digunakan juga menerapkan irama berulang yang dinamis seperti motif sulur daun di gunungan Pagelaran Keraton Surakarta. Hampir semua komponen pada bangunan menggunakan ritme yang terkesan dinamis dengan bentuk motif sulur, segitiga dan juga zigzag. Habibbullah et al., 2019 Gambar 16 Penerapan Irama Dinamis pada Bouven A dan Ornamen B Sumber Habibbullah et al., 2019 2. Bentuk Wuwungan dan motif ukur sulur pada gunungan merupakan dua ornamen dekoratif yang paling terlihat dari kelima bangunan. Wuwungan yang merupakan elemen dekoratif atap, biasanya dipasang di bubungan atau di jurai luar. Ada yang dipasang hanya di tepi bubungan atau jurai, ada pula yang dipasang di sepanjang bubungan dan jurai. Gunungan adalah permukaan vertikal di atap kampung dan tidak tertutup oleh bidang atap. Bidang gunungan yang dapat terlihat dengan mudah secara visual biasanya digunakan untuk menempatkan ornamen dekoratif seperti ukiran dan bouven. Afi Khalisha Hakim Penerapan Ornamen Lokal Pada Desain Gedung Wayang Orang Sriwedari Surakarta Dengan Pendekatan Arsitektur Neo Vernakular 123-133 131 Gambar 17 Motif Ukir Sulur Daun pada Gunungan kiri dan Wuwungan pada Ujung Jurai Luar kanan Sumber Habibbullah et al., 2019 3. Makna Ornamen hias pada fasad bangunan tidak terlihat dominan karena fungsi dekoratif bukanlah yang utama. Bukan berarti keberadaan ornamen bangunan tidak penting. Keseragaman beberapa ornamen menghasilkan desain yang harmonis antar bangunan. Wuwungan modern merupakan bentuk penyederhanaan dari wuwungan jago, wuwungan kelir dan wuwungan mustoko yang dibuat dalam kaitannya dengan konsep arsitektur atap dengan mengambil bentuk utama seperti lanangan, jago dan makutho di tengah sedangkan bulusan adalah penutup pada garis wuwungan itu sendiri sehingga tajuk dan penyangga pada konsep modern dapat menyesuaikan dengan konsep atap tajug dan pola joglo atau model pencu atau kampung. Wuwungan modern tidak berbentuk simbol spiritual, melainkan nilai status sosial yang dibawa oleh subjek wuwungan modern. Darmawanto, 2015 Ornamen yang terdapat pada kelima bangunan di Surakarta memiliki beberapa kesamaaan karakteristik yaitu penggunaan irama berulang yang dinamis dengan bentuk motif sulur, segitiga dan zigzag. Wuwungan dan motif ukir sulur pada gunungan merupakan dua ornamen dekoratif yang paling terlihat dari kelima bangunan yang berfungsi sebagai ornamen hias yang menciptakan keseragaman sehingga menghasilkan desain yang harmonis. Bangunan Hotel di Kota Surakarta 1. Karakteristik Elemen ikonik Jawa yang diterapkan pada bangunan hotel Surakarta dapat dilihat melalui bentuk atap dengan bentuk fisik yang khas dan ciri dominan karena atap merupakan bagian yang mewakili puncak bangunan, material bangunan dan ornamen pada bangunan. Bangunan hotel belum memiliki karakteristik yang kuat karena penerapan unsur-unsur tersebut belum memiliki karakter yang kuat. Dianingrum et al., 2021 2. Bentuk Penggunaan ornamen pada 5 bangunan hotel di kota Surakarta yang diambil sebagai sampel, sebagian besar menggunakan ornamen yang umum dengan bentuk tumbuh-tumbuhan pada fasad luar bangunan seperti ornamen lunglungan. Gambar 18 Ornamen Lunglungan Sumber Ismunandar, 2001 3. Makna Ragam hias tumbuh-tumbuhan tidak terlepas dari pengaruh Hindu. Flora yang digunakan sebagai hiasan pada bangunan tradisional Jawa bersifat sakral dan dalam beberapa jenis. Arti dari ragam hias ini adalah keindahan dan kebaikan yang diungkapkan melalui penggunaan warna kuning emas, merah dan hijau. Ragam hias ini biasanya terletak pada struktur ataupun non struktur yang terletak pada bagian atas bangunan dan juga pintu masuk Agora Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Arsitektur Usakti , Volume20, Nomor 2, Desember 2022 132 ruang utama juga ruang yang sakral. Cahyandari, 2007 Ornamen yang banyak ditemukan pada bangunan hotel di Surakarta belum memiliki karakteristik yang kuat. Bentuk ornamen yang digunakan pada kelima bangunan hotel Sebagian besar menggunakan ornamen dengan bentuk flora seperti ornamen lunglungan yang menghasilkan nilai estetika pada bangunan. Berdasarkan data yang telah diperoleh, berikut analisis dengan menggunakan 3 komponen ornamen lokal yang ditemukan pada beberapa bangunan di kota Surakarta Tabel 1. Analisis Ornamen Lokal 3 Analisis Komponen Ornamen Karakteristik Nilai estetis dengan konsep estetika Jawa dan estetika Islam. Bentuk Ornamen Padma, Putri Mirong, Sorotan, Tlacapan, dan Lunglungan. Makna Padma simbol ajaran suci Nabi Muhammad SAW, Putri Mirong symbol ajaran suci Nabi Muhammad SAW, Sorotan bermakna Nabi Muhammad SAW adalah uswatun khasanah, Tlacapan symbol pemimpin dengan kewibawaan dan keagungan, dan Lunglungan bermakna rezeki dan dermawan. Rumah Tinggal Kampung Laweyan Karakteristik Ornamen dipengaruhi budaya ornamen itu sendiri dalam bentuk, motif, pola, warna, dan letak. Bentuk Ornamen Lunglungan, Wajikan, Patran, Padma, Makhuta, dan Banyu Tetes. Makna Lunglungan ketentraman, Wajikan keindahan, Makhuta mahkota, dan Banyu Tetes air sebagai sumber kehidupan. Pendapi Gede dan Sasana Handrawina Karakteristik Keduanya menerapkan elemen kaca pada gebyog yang digunakan sebagai pembentuk ruang. Bentuk Lambang Pemerintah Kota Surakarta dan Lambang Radya Laksana. Makna Keduanya berkaitan dengan aspek estetika dan juga sebagai suatu identitas dari bangunan. Karakteristik Hampir di semua bangunan menggunakan ornamen dengan irama yang berkesan dinamis dengan bentuk zig-zag, segitiga, dan terdapatnya motif sulur. Bentuk Ornamen Wuwungan dan motif ukir sulur daun pada gunungan. Makna Keselarasan desain antarbangunan. Bangunan Hotel di Surakarta Karakteristik Bangunan belum memiliki karakter yang kuat. Bentuk Ornamen dengan bentuk flora seperti ornamen Lunglungan. Makna Ornamen digunakan sebagai ragam hias dan nilai keindahan. Sumber Hasil Analisa Peneliti Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dihasilkan beberapa poin sebagai berikut. Pertama, karakteristik ornamen pada bangunan dipengaruhi oleh pengaruh budaya pada bangunan itu sendiri, yang hampir pada semua bangunan menggunakan ornamen yang umum digunakan. Tidak ditemukan penggunaan khusus suatu ornamen pada bangunan. Berdasarkan preseden dari bangunan yang terpilih, ornamen lebih banyak ditemukan pada gebyog, daun pintu, bukaan jendela, dan kolom. Kedua, bentuk ornamen yang ditemukan sebagian besar menggunakan ornamen dengan bentuk umum tumbuh-tumbuhan flora seperti ornamen Lunglungan, Padma, Patran, dan juga Wajikan. Ketiga, makna dari penggunaan ornamen pada bangunan memiliki makna yang tidak mendalam. Sebagian besar ornamen yang diterapkan memiliki tujuan sebagai nilai estetika atau keindahan bagi bangunan tersebut. E. KESIMPULAN Karakteristik ornamen pada bangunan menggunakan ornamen yang umum digunakan. Ornamen lebih banyak ditemukan pada gebyog, daun pintu, bukaan jendela, dan kolom. Bentuk ornamen yang sering ditemukan yaitu ornamen dengan bentuk tumbuh-tumbuhan flora seperti Lunglungan, Padma, Patran, dan juga Wajikan. Makna dari penggunaan ornamen Afi Khalisha Hakim Penerapan Ornamen Lokal Pada Desain Gedung Wayang Orang Sriwedari Surakarta Dengan Pendekatan Arsitektur Neo Vernakular 123-133 133 pada umumnya sebagai nilai estetika pada bangunan. Sebagian besar ornamen yang diterapkan pada bangunan preseden tidak memiliki karakteristik, bentuk dan juga makna yang khusus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan ornamen lokal pada tipologi bangunan gedung pertunjukan tidak jauh berbeda dengan ornamen yang diterapkan pada jenis tipologi lainnya. Bentuk ornamen seperti ornamen Lunglungan, Wajikan, Patran, Padma yang memiliki bentuk dasar tumbuh-tumbuhan flora dapat digunakan pada bangunan pertunjukan Gedung Wayang Orang Sriwedari. DAFTAR RUJUKAN Appleton, I. 2008. Buildings For the Performing Arts Second Edition. Architectural Press. Cahyandari, G. 2007. Tata Ruang dan Elemen Arsitektur Pada Rumah Jawa di Yogyakarta Sebagai Wujud Kategori Pola Aktivitas Dalam Rumah Tangga. Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Darmawanto, E. 2015. Estetika dan Simbol Dalam Wuwungan Mayonglor Sebagai Wujud Spiritual Masyarakat. Universitas Negeri Semarang. Dianingrum, A., Srimuda, T., Andria, M., Muqoffa, M., & Anjar, P. 2021. Identifikasi Penerapan Unsur-Unsur Iconic Jawa Pada Bangunan Hotel Di Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Habibbullah, M., Muqoffa, M., & Purwani, O. 2019. Penerapan Karakter Arsitektur Jawa Pada Fasad Pusat Kuliner Tradisional Di Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Ismunandar, R. 2001. Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Dahara Prize. Neufert, E. 2002. Data Arsitek Jilid 2. Erlangga. Niswah, A., Novinda, C., Aprianggara, I., & Khoira, T. 2018. Konstruksi dan Detail Ornamen pada Arsitektur Jawa. Universitas Sebelas Maret. Noor, O. M. 2005. Penerapan Ragam Hias Tradisional Bali Pada Rumah Tinggal Sebagian Masyarakat Melayu Selangor Malaysia. Institut Teknologi Bandung. Purnomo, A. 2009. Ornamen Kaca Pada Interior Bangunan Tradisional Di Surakarta. Institut Seni Indonesia Surakarta. Rahayuningtyas, B. O. 2010. Ornamen Bangunan Rumah Tinggal Di Kampung Laweyan Surakarta. Universitas Brawijaya. Ronald, A. 2005. Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Soekiman, D. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XX. Gadjah Mada University Press. Strong, J. 2010. Theatre Buildings a Design Guide. Association of British Theatre Technicians. Yunianti, E. 2018. Kajian Estetika Ornamen Pada Elemen Masjid Agung Surakarta Dalam Konteks Budaya. Universitas Sebelas Maret. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Gerarda Orbita Ida CahyandariTraditional houses resemble classification according to social status of the owner. Traditional house is a manifestation of symbolic and cultural meaning. Javanese traditional houses are represented in certain orders and characteristics. “Ndalem” in the form of “Joglo” is a type of high status. “Limasan” and “Kampung” are houses for medium and low status. Activities in a house reflect social inter-relationship in a family. Javanese people are categorized as patrileneal family systems that have cultural determination in domestic roles. The analysis requires historical data, pattern of activity, and architectural elements and symbols. Mapping of activities draws housing classification. “Dalems” and “joglos” have spaces to support social activity and define the roles. Houses in lower classification show balance of the social classification, Javanese traditional house, domestic rolesAbstrak Rumah tradisional mencitrakan status sosial pemilik yang juga berarti bahwa rumah tradisional memiliki makna simbolis dan kultural. Rumah trdisional Jawa diwujudkan dalam aturan dan karakteristik tertentu. Rumah “Joglo” dalam bentuk “Ndalem” berada pada status sosial pemilik yang tinggi, sedangkan Limasan dan Kampung dimiliki oleh kaum biasa dan rakyat jelata. Aktivitas dalam rumah mencerminkan hubungan social dalam suatu rumah tangga. Keluarga jawa termasuk penganut system patrilineal yang berpengaruh pada peran domestik. Analisis menggunakan data historis, pola aktivitas, dan elemen serta simbol arsitektural. Pemetaan aktivitas menunjukkan klasifikasi bangunan. Ndalem dan joglo memiliki ruang yang mendukung aktivitas dan peran sosial. Rumah dalam klasifikasi yang lebih rendah, menunjukkan peran domestik dan sosial yang kunci klasifikasi sosial, rumah tradisional Jawa, aktivitas rumah tanggaEstetika dan Simbol Dalam Wuwungan Mayonglor Sebagai Wujud Spiritual MasyarakatE DarmawantoDarmawanto, E. 2015. Estetika dan Simbol Dalam Wuwungan Mayonglor Sebagai Wujud Spiritual Masyarakat. Universitas Negeri Karakter Arsitektur Jawa Pada Fasad Pusat Kuliner Tradisional Di SurakartaM HabibbullahM MuqoffaO PurwaniHabibbullah, M., Muqoffa, M., & Purwani, O. 2019. Penerapan Karakter Arsitektur Jawa Pada Fasad Pusat Kuliner Tradisional Di Surakarta. Universitas Sebelas Arsitektur Rumah Tradisional JawaR IsmunandarIsmunandar, R. 2001. Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Dahara Arsitek Jilid 2. ErlanggaE NeufertNeufert, E. 2002. Data Arsitek Jilid 2. dan Detail Ornamen pada Arsitektur JawaA NiswahC NovindaI AprianggaraT KhoiraNiswah, A., Novinda, C., Aprianggara, I., & Khoira, T. 2018. Konstruksi dan Detail Ornamen pada Arsitektur Ragam Hias Tradisional Bali Pada Rumah Tinggal Sebagian Masyarakat Melayu Selangor MalaysiaO M NoorNoor, O. M. 2005. Penerapan Ragam Hias Tradisional Bali Pada Rumah Tinggal Sebagian Masyarakat Melayu Selangor Malaysia. Institut Teknologi Kaca Pada Interior Bangunan Tradisional Di SurakartaA PurnomoPurnomo, A. 2009. Ornamen Kaca Pada Interior Bangunan Tradisional Di Surakarta. Institut Seni Indonesia Surakarta. 2F4IOQ.
  • 2wccbnv2tb.pages.dev/314
  • 2wccbnv2tb.pages.dev/456
  • 2wccbnv2tb.pages.dev/229
  • 2wccbnv2tb.pages.dev/404
  • 2wccbnv2tb.pages.dev/325
  • 2wccbnv2tb.pages.dev/83
  • 2wccbnv2tb.pages.dev/42
  • 2wccbnv2tb.pages.dev/29
  • ornamen ukir pada wayang kulit termasuk gambar yang bersifat